Laman

Selasa, 22 Februari 2011

Ketika Malaikat Mungilku Hadir


Siang itu perutku terasa seperti kram. Aku pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Ketika selesai ternyata ada flek yang muncul. Lagi-lagi aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ini flek kedua, dan kelihatannya mengkhawatirkan. Segera kuhubungi dokter kandunganku. Jawabannya sama seperti pesan sebelumnya ketika aku pertama kali mengalami flek di usia kandungan 3 bulan : "Segera ke kamar bersalin".

Namun kali ini aku betul-betul panik. Kalau sebelumnya aku bisa mengatasi kondisiku dengan beristirahat beberapa jam saja dan perutku tidak kram lagi. Sekarang ini kramnya muncul tiap beberapa menit sekali meskipun aku sudah beristirahat beberapa jam. Segera saja aku minta suami mengantarkan aku ke rumah sakit tempat aku biasa memeriksakan kandungan. Aku langsung dibawa ke kamar bersalin. Seorang bidan memeriksa detak jantung bayiku. Sepertinya ada yang tidak normal, karena dari hasil pemeriksaan diketahui banyak terjadi kontraksi.

Saat itu usia kandunganku baru 35 minggu. Dan sesuai saran dokter kandunganku, aku harus dirawat untuk diobervasi beberapa hari.

Para perawat memindahkan aku ke kamar perawatan. Di sana aku diberi infus dan obat2an penahan kontraksi. Seorang bidan mengatakan bahwa obat2an itu diharapkan bisa menghambat aku melahirkan bayi prematur karena itulah yang akan terjadi jika kontraksi yang kurasakan terus berlangsung di usia kandungan yang belum cukup bulan.

OMG! Dalam hati aku sebenarnya takut, karena belum siap untuk menghadapi proses melahirkan secepat itu. Aku tahu akan segera melahirkan, tapi tidak sekarang. Tuhan Yesus, tolong aku.... semoga apa yang kutakutkan tidak terjadi.

Namun rupanya rencanaku bukanlah rencana-Nya. Setelah 3 hari dirawat dan diobservasi, ternyata obat2an itu tidak mampu meredam kontraksi rahimku. Bayiku ingin segera keluar!!! (Anak ini sepertinya tidak sabar lagi ingin melihat dunia)

Bidan yang merawatku memberitahu bahwa selang infus dan obat2an akan dihentikan. Efeknya adalah, aku akan segera merasakan kontraksi yang semakin sering dan bayiku kalau memang mau lahir maka biarlah dia lahir.

Oh, no! I wish this is not happening!!! Bunda Maria, doakan aku... beri aku kekuatan!!! Kau juga seorang ibu, tentu kau mengerti yang kurasakan saat ini.

Aku sangat panik. Terus menerus aku berdoa untuk menenangkan diri. Suamiku tidak kalah panik. Kuminta dia mengambil pakaian untuk persalinanku dan juga pakaian bayi yang memang belum sempat kusiapkan sebelumnya, karena aku tidak menyangka proses persalinan akan segera kuhadapi esok hari.

Betul saja, beberapa saat setelah obat2an itu dihentikan, kontraksiku semakin sering dan rasanya semakin sakit. Keesokan harinya, aku sudah masuk kamar bersalin.

Mama menungguiku disana, berusaha menghibur. Duh, sakitnyaa... luuuaarrr biaasssa... belum melahirkan saja, aku sudah tidak kuat.. semakin dekat waktunya semakin sakit!!!

Aku minta suamiku menggantikan mama untuk menguatkan mentalku. Aku menangis karena tidak tahan lagi. Waktu yang tersisa tinggal beberapa menit, dan yang bisa kulakukan hanya menjerit memanggil dokter, bidan, suster, siapa saja yang kuanggap wajib menolongku saat itu, untuk membebaskan aku dari rasa sakitku.

Aku lupa semua teori senam hamil yang sempat kupelajari. Tidak bisa lagi mengatur nafas. Berusaha tenang? Enak saja! Coba saja situ yang merasakan, tidak mungkin bisa tenang!!! Nafasku tidak teratur, suaraku mulai berteriak-teriak (tidak malu lagi rasanya), dan perutku rasanya semakin sakit. Para suster dan bidan segera berdatangan. Seorang suster (atau bidan, entahlah) berdiri di sampingku memberi aba2 dan petunjuk. Hanya suaranya saja yg bisa kudengar. Suara2 lain tdk lg mampu kudengar di tengah rasa sakit yg kurasakan itu. Bahkan suara suamiku pun aku tidak mendengar lg. Suster di bagian kakiku memecahkan ketuban. Aku langsung saja merasakan air yg mengalir. Setelah itu dimulailah proses mengedan yg melelahkan.

Kurang dari 3 jam sejak masuk ruang bersalin, bayi mungilku sudah keluar. Suara tangisnya memecah ketegangan di ruangan itu. Suamiku tertawa gembira - sementara aku tergolek lemas tak berdaya. Dokter kandungan pengganti memberi ucapan selamat - dokter kandunganku tidak hadir dalam persalinan karena katanya sedang seminar di Bali - jujur saja aku sangat kecewa karena merasa diabaikan. Para perawat, bidan tampak lega karena tugasnya selesai. Orangtua dan mertuaku semuanya tidak sabar memberi kabar gembira pada sanak saudara.

Bayiku lahir prematur, tapi kondisinya sehat. Kulitnya sedikit pucat dan berkerut - mungkin kedinginan di ruangan ber-AC itu. Matanya terpejam, tapi suara tangisannya, ya ampun... kenceng banget... aku ingin segera memeluknya.

Ya Tuhan, terima kasih, dia lucu sekali. Kecil mungil tapi ganteng luar biasa...hahaha... ternyata dia cowok tulen. Rambutnya lebat dan pipinya menggemaskan. Foto di atas adalah foto malaikat kecilku beberapa saat setelah dilahirkan.

Seorang perawat/bidan meletakkannya di dadaku untuk disusui. Sayang aku terlalu lemah, mungkin dia juga, karena ternyata bayi mungilku tidak bisa menemukan puting susu setelah hampir setengah jam berada disana. Mungkin dia kedinginan. Bodohnya aku dan suamiku tidak mengambil selimut untuk menghangatkan tubuhnya. Alhasil, IMD ku tidak berhasil. Setelah setengah jam berlalu, si perawat/bidan itu pun mengambilnya dari pelukanku. Dia bertanya, "Sudah bu?" Dan kujawab dengan lemah, "Sudah".

Biarlah, karena kasihan si kecil di ruangan itu tanpa selimut pasti kedinginan. Lebih baik dia segera dihangatkan di ruangan lain. Toh nanti juga aku bisa menyusuinya lagi.

Aku masih di ruangan bersalin selama beberapa jam, dan mulai merasakan ada keanehan pada perutku. Rasanya kok masih mulas, dan seperti mau BAB lagi. Aku segera memanggil seorang suster. Katanya "Itu rahimnya masih berkontraksi bu, tidak apa-apa." Tapi aku tahu ini tidak biasa, karena semakin lama semakin sakit dan menekan. Aku panggil lagi seorang bidan dan setengah memaksa dia untuk memeriksa keadaanku. Betul saja, bidan itu terkejut, dia mengatakan ada pembuluh darah pecah di dalam dan darahnya tidak bisa keluar, sehingga menyebabkan rasa sakit itu. Dia bilang aku harus segera ke ruang operasi.

Duh, apalagi ini! Kenapa harus ke ruang operasi??? Aku tidak sempat bertanya lebih lanjut karena masih lemas. Beberapa saat kemudian aku sudah berada di ruang operasi, dibius, dan tidak ingat apa-apa lagi. Begitu bangun, aku sudah ada di kamar bersalin lagi, mendengar suara suamiku berbicara, dan melihat ruangan itu samar2.

Syukurlah,setelah itu semuanya normal. Jahitanku sempat dibuka lagi di ruang operasi dan dijahit lagi. Aku tidak tanya berapa jahitan, pokoknya sakitnya sudah hilang. Sekali lagi, waktuku untuk bertemu dengan bayiku hilang beberapa jam. Bagaimana dia? Sudah minumkah? Menangis tidak?

Akhirnya ketika sudah dipindahkan ke ruang perawatan aku bisa bertemu lagi dengan malaikat mungilku itu. Kupeluk dan kuciumi dia. Tenang sekali tidurnya. Aku bangga bisa melahirkan dia dengan normal dan dia kelihatannya cukup sehat. Kubelai rambutnya dan pipinya. Kugenggam tangannya yang kecil. Kuperiksa telapak kakinya. Bayiku kecil, tapi tidak apa-apa, asal dia normal seperti bayi-bayi lainnya, aku sudah bersyukur.

Yah,begitulah kisah kelahiran malaikat kecilku. Semoga para calon ibu tidak takut untuk melahirkan normal. Karena walaupun sakit, tapi rasanya sangat membanggakan kalau berhasil melaluinya.

Selamat menjadi ibu!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Make That Change !!!

BOSS Family